Hadits




Pengertian hadits
“Hadits”, secara bahasa, artinya ‘khabar’ (berita) atau ‘sesuatu yang baru’. Al-Huduts: munculnya sesuatu setelah sebelumnya belum ada; ahdatsa: menciptakan. (Mukhtarush Shihah, kata: ha-da-tsa)
Secara istilah, “hadits” adalah ‘sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, atau sifat beliau’.
Hadits dan khabar
Secara bahasa, khabar artinya berita. Ada dua pendapat ulama tentang hubungan antara hadits dengan khabar.
  1. Khabar adalah sinonim dari kata “hadtis”, sehingga sering dijumpai ulama yang menyebut hadis dengan khabar, terutama dalam pembahasan tentang mushtalah hadits.
  2. Hadits tidak sama dengan khabar. Hadits adalah berita yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan khabar adalah berita yang datang dari selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Taisir Mushthalah Hadits, hlm. 16)
Hadits dan atsar
Secara bahasa, “atsar” artinya ‘bekas’ atau ‘peninggalan sesuatu’. Adapun secara istilah, ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa atsar sama dengan hadis. Pendapat kedua menyatakan bahwa atsar adalah berita atau informasi yang dinisbahkan kepada sahabat atau tabiin, baik berupa ucapan maupun perbuatan. (Taisir Mushthalah Hadits, hlm. 16)
Pembagian t
Hadis dibagi menjadi beberapa bagian, berdasarkan kriterianya.
A. Berdasarkan cara sampainya kepada kita, hadis terbagi menjadi dua:
Pertama: Hadits mutawatir.
Kata “mutawatir”, secara bahasa, diambil dari kata ”tawatur, yang artinya ‘berdatangan secara silih berganti’.
Hadits mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan dari jalur periwayatan yang sangat banyak dalam setiap thabaqah (tingkatan) perawi, sehingga mustahil terjadi kesepakatan untuk berdusta dalam membawakan hadits tersebut, dengan model periwayatan secara indrawi (mendengar atau melihat langsung). (Mushthalah Hadits, Ibnu Al-Utsaimin, hlm. 12)
Berdasarkan definisi di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal:
  1. Hadits yang jalur periwayatannya tidak banyak, tidak termasuk mutawatir.
  2. Model periwayatannya secara indrawi, artinya bukan secara keyakinan. Berita yang diterima masyarakat secara turun-temurun, karena telah menjadi keyakinan, tidak termasuk hadis mutawatir, meskipun jumlah orang yang meriwayatkan sangat bannyak. Contoh: keyakinan bahwa Yesus anak Allah (Mahasuci Allah). Hampir semua orang nasrani–secara turun-temurun–meyakini bahwa Yesus anak Allah. Namun, mengingat sumbernya adalah keyakinan maka berita tersebut tidak dinamakan berita mutawatir.
Kedua: Hadits ahad.
Ahad, secara bahasa, berasal dari kata “wahid”, yang artinya ‘satu’. “Khabar wahid” artinya ‘berita yang hanya dibawakan oleh satu orang’.
Hadis ahad adalah hadis yang padanya tidak terkumpul syarat-syarat hadis mutawatir.
Catatan:
Pembagian hadits berdasarkan cara sampainya kepada kita, tidak ada hubungannya dengan sahih dan tidaknya hadis. Sehingga, tidak semua hadis ahad itu dhaif dan tidak boleh diyakini kebenarannnya. Bahkan, banyak sekali hadis ahad yang sahih.
B. Berdasarkan diterima dan tidaknya, hadits terbagi menjadi dua:
Pertama: Hadits maqbul (diterima), yaitu hadis yang memenuhi syarat untuk diterima dan dinyatakan sahih.
Kedua: Hadits mardud (tertolak), yaitu hadis yang tidak memenuhi syarat untuk diterima dan dinyatakan sahih.
C. Berdasarkan ujung sanad, hadits terbagi menjadi tiga:
Pertama: Hadits marfu’.
Marfu’, secara bahasa, artinya ‘tinggi’ atau ‘yang ditinggikan’. Secara istilah, ada dua pengertian yang diberikan ulama untuk hadis marfu’, yaitu:
  1. Setiap ucapan, perbuatan, persetujuan, atau sifat yang dinisbahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik secara bersambung maupun terputus, baik yang disampaikan oleh sahabat, tabiin, maupun orang yang di bawahnya, dan statusnya sahih (benar) sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Ucapan, perbuatan, atau persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh para sahabat.
Kedua: Hadits mauquf.
Mauquf, secara bahasa, diambil dari kata “waqaf”, yang artinya ‘berhenti’. Secara istilah, hadis mauquf artinya ‘ucapan, perbuatan, atau persetujuan yang dinisbahkan kepada para sahabat, baik secara bersambung atau terputus’. Misalnya: Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Sampaikan kepada manusia sesuai dengan kadar ilmu yang mereka pahami ….”
Ketiga: Hadits maqthu’.
Mauqthu’, secara bahasa, artinya ‘terputus’. Secara istilah, hadits maqthu’ adalah ‘ucapan atau perbuatan yang dinisbahkan kepada tabiin’. Misalnya: Muhammad bin Sirrin mengatakan, “Sesungguhnya, ilmu itu bagian dari agama. Perhatikanlah dari mana kalian mengambil agama kalian.”
D. Berdasarkan banyaknya perawi dalam sanad hadits, hadits terbagi menjadi dua:
Pertama: Hadits nazil, yaitu hadis yang jumlah urutan perawi sanadnya banyak. Contoh: Imam Al-Baihaqi mengatakan bahwa Abdullah bin Yusuf menyampaikan bahwa Ahmad bin Muhammad mengabarkan bahwa Al-Hasan bin Muhammad Ash-Shabbah mengatakan bahwa Sufyan bin Uyainah dari Abdurrahman bin Qasim dari bapaknya dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Saya mengikuti haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika sampai di daerah Saraf, saya mengalami haid. Saya menangis, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui saya. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya, haid adalah perkara yang telah Allah tetapkan untuk anak perempuan Adam. Lakukanlah semua yang dilakukan jemaah haji, selain tawaf di Ka’bah.’”
Dalam hadits di atas, jalur riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Imam Al-Baihaqi melalui tujuh orang perawi: Abdullah bin Yusuf, Ahmad bin Muhammad, Al-Hasan bin Muhammad Ash-Shabbah, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Qasim, bapaknya, lalu Aisyah.
Kedua: Hadits ‘ali, yaitu hadis yang jumlah urutan perawi sanadnya sedikit. Contoh: Imam Ahmad mengatakan bahwa Ismail menyampaikan kabar dari Abdul Aziz dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian berdoa maka seriuskan keinginan kalian ….”
Dalam hadits ini, jumlah urutan perawi dari Imam Ahmad sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melewati tiga orang perawi: Ismail dari Abdul Aziz dari Anas bin Malik. (Al-Jadawil Al-Jami’ah, hlm. 150–161).
****
Referensi:
Mukhtarush Shihah. Zainuddin Ar-Razi. Mauqi’ Al-Warraq.
Taisir Mushthalah Hadits. Dr. Mahmud Thahan. Markaz Al-Huda lid Dirasat. Iskandariyah. 1415 H.
Mushtalah Hadits. Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin. Dar Al-Haramain. Mesir. 1422 H.
Al-Jadawil Al-Jami’ah fi Ulum An-Nafi’ah. Nabil bin Manshur Al-Basharah, dkk. Dar Ad-Da’wah. Kuwait. 1412 H.




Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Hadits"

Posting Komentar